Rabu, 10 November 2010

Selamatkan anak-anak dari Trauma Bencana

Bermain adalah dunia utama anak-anak. Dalam benak mereka, dunia adalah untuk bermain sambil belajar.Tak bisa dibayangkan jika anak-anak kehilangan kedua aktivitas itu: tidak bisa bermain sebagaimana anak-anak lainnya. Ketika hendak bermain orang tua acap kali melarang, bahkan untuk keluar dari tenda, karena khawatir akan keselamatan mereka. Inilah yang dialami oleh anak-anak di daerah bencana, terutama di pengungsian. Jika tidak ada penanganan serius dikhawatirkan mereka akan mengalami hambatan perkembangan psikologis.

Seperti yang dialami teman-teman kecil saya yang sedang mengalami bencana erupsi Merapi, Pia dan Atik... ketika saya tanya bagaimana rasanya berada di pengungsian, mereka menjawab dengan kalimat singkat. MEMBOSANKAN......

Usia anak-anak merupakan masa keemasan, periode paling menentukan. Ketertekanan jiwa menjadi agenda besar yang mesti segera ditangani, dengan aneka ragam kegiatan konseling komunikatif dan suportif. Penyuluhan, terapi psikologis, dan bimbingan konseling yang terpusat pada anak harus diprioritaskan untuk mengembalikan agar mereka sehat secara psikologis, ceria di dunia bermain mereka. Optimisme yang tertekan ke titik ke alam bawah sadar pun perlahan tapi pasti akan terangkat ke permukaan. Program penanggulangan bencana sudah saatnya dirancang sedemikan rupa, memberi perhatian besar pada psikologi anak. Saat bencana datang dan mereka menjadi kelompok yang paling rentan, selain lansia, sepatutnya kita memiliki grand design baku penanganan. Anak-anak adalah masa depan, sehingga kita jangan sampai salah arah menangani. Selama ini desain baku hanya berkutat pada penanganan fisik, meliputi upaya evakuasi, tanggap darurat, ketercukupan logistik, sarana-prasarana, dan alokasi dana.

Upaya pembenahan dan pemompaan semangat hidup kepada anak-anak di daerah bencana merupakan tahap awal penyembuhan “luka memar“ psikologis yang diderita.Komunikasi dialogis yang suportif, dukungan dari keluarga dan lingkungan sosial bakal berperanbesardalamprosesini.Denganpendekatan itulah mereka diajak menemukan kembali “ruh“ hidup yang mengendap dan bersembunyi di balik ketidaksadaran represif. Juga mengembalikan anak-anak pada posisinya dari kemungkinan keterpurukan jiwa.

sebagian artikel ini saya ambil dari sini.

2 komentar:

  1. Setuju sekali... Harusnya memang penanganan bencana bagi anak2 harus mendapatkan prioritas agar mereka tak hidup dalam traumanya pasca bencana terjadi.

    BalasHapus
  2. iya bu... sekarang merapi sudah mulai turun... aku punya teman cilik yang jadi pengungsi kemaren, sekarang sudah kembali sekolah

    BalasHapus